Suku
Dayak Kayaan memiliki seni musik yang unik. Suku ini memiliki alat musik yang
dinamakan sampek atau masyarakat Kayaan menyebutnya sape’ kayaan. Sape’ adalah
musik petik. Alat musik sape’ yang dimiliki oleh Dayak Kayaan bentuknya
berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua
senar/tali dari bahan plastik. Sape jenis ini memiliki empat tangga nada.
Cara
pembuatan sape’ sesungguhnya cukup rumit. Kayu yang digunakan juga harus
dipilih. Selain kayu Pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya, juga
bisa kayu keras seperti nangka, belian dan kayu keras lainnya. Semakin keras
dan banyak urat daging kayunya, maka suara yang dihasilkannya lebih bagus.
Bagian permukaannya diratakan, sementara bagian belakang di lobang secara
memanjang, namun tidak tembus kepermukaan. Untuk mencari suara yang bagus maka
tingkat tebal tipisnya tepi dan permukannya harus sama, agar suara bisa
bergetar merata, sehingga mengehasilkan suara yang cekup lama dan nyaring
ketika dipetik.
Cara
memainkannya, berbeda dengan cara memainkan melodi gitar, karena jari-jari
tangan hanya pada satu senar yang sama bergeser ke atas dan bawah. Biasanya
para pemusik ketika memainkan sebuah lagu, hanya dengan perasaan saja.
Sape’
Kayaan sangat populer karena irama dan bunyi yang dilantunkannya dapat membawa
pendengar serasa di awang-awang. Alat musik sape’ ini biasa dimainkan ketika
acara pesta rakyat atau gawai padai (ritual syukuran atas hasil panen
padi).Musik ini dimainkan oleh minimal satu orang. Bisa juga dua atau tiga
orang. Jenis lagu musik sape’ ini bermacam-macam, biasanya sesuai dengan jenis
tariannya. Misalnya musik Datun Julut, maka tariannya juga Datun Julut dan
sebagainya.
Bermusik
itu bermain mengolah rasa. Petikan dawai menghadirkan dentingan yang memecah
kesunyian. Orang Dayak punya rasa bermusik yang tinggi. Musik tradisional tiga
dawai telah mengolah rasa.
Tak
jauh dari tangga Betang. Seorang pria separuh baya memegang sebuah alat musik
tradisional khas masyarakat Dayak: sape atau sampe. Pakaian khas Dayak
menghiasi tubuhnya. Ia kemudian memainkan gitar tali tiga yang digenggamnya.
“Kita
bermain dengan rasa. Karena sape tidak sama dengan gitar kebanyakan. Tidak ada
tangga nadanya. Tidak semua orang bisa memainkan alat musik ini,” kata
Stepanus, pemain sape yang berasal dari Kabupaten Malino, Provinsi Kalimantan
Timur.
Sujarni
Alloy, peneliti Institut Dayakologi mengungkapkan, sape adalah sebuah mitologi
dalam masyarakat Dayak. Keberagaman suku bangsa, semakin menambah ciri khas
seni dan budaya bermusik. Ia menyebut Dayak Kayaan dan Kenyah yang memiliki
kekhasan bermusik dengan tiga dawai itu.
Dayak
Kayaan yang mendiami Kalimantan, baik di Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat, Sungai Mahakam, Sungai Kayaan dan sekitarnya di
Kalimantan Timur dan Sungai Baram, Telaang Usaan, Tubau dan sekitarnya
Serawak-Malaysia, memiliki seni musik yang unik.
Suku
ini cukup besar. Dalam groupnya ada berbagai subKayaan, antara lain Punan,
Kenyah dan Kayaan sendiri. Suku ini memiliki alat musik yang dinamakan sampek
(orang Kayaan menyebutnya Sape’). Sape’ adalah musik petik yang tidak asing
lagi di mata para pelagiat seni baik di Indonesia maupun Sarawak-Malaysia.
Musik
sape’ yang dimiliki oleh Dayak Kayaan terdiri atas dua jenis. Pertama, berbadan
lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua senar/tali
dari bahan plastik. Sape jenis ini memiliki empat tangga nada. “Orang kerap
menyebutnya sebagai sape Kayaan, karena ditemui oleh orang Kayaan,” kata Alloy.
Sementara
satunya berbadan kecil memanjang. Pada bagian ujungnya berbentuk kecil dengan
panjangnya sekitar 1,5 meter. Orang menyebutnya dengan sape’ Kenyah, karena
ditemui oleh orang Kenyah. Sape’ ini memiliki tangga nada 11-12. Talinya dari
senar gitar atau dawai yang halus lainnya, tiga sampai lima untai.
Dari
kedua jenis sape ini, yang paling populer adalah Sape’ Kenyah. Karena irama dan
bunyi yang dilantunkannya dapat membawa pendengar serasa di awang-awang. Tidak
heran pada zaman dulu, ketika malam tiba, anak muda memainkannya dengan
perlahan-lahan baik di jalan maupun sepanjang pelataran rumah panjang, sehingga
pemilik rumah tertidur pulas karena menikmatinya.
Dengan
kekhasan suaranya, konon menurut mitologi Dayak Kayaan, Sape’ Kenyah,
diciptakan oleh seorang yang terdampar di karangan (pulau kecil di tengah
sungai) karena sampannya karam di terjang riam. Ketika orang tersebut yang
sampai hari ini belum diketahui siapa sebenarnya, bersama rekan-rekannya
menyusuri sungai, diperkirakan di Kaltim.
Karena
mereka tidak mampu menyelamatkan sampan dari riam, akibatnya mereka karam. Dari
sekian banyak orang tersebut, satu di antaranya hidup dan menyelamatkan diri
kekarangan. Sementara yang lainnya meninggal karena tengelam dan dibawa arus.
Ketika
tertidur, antara sadar dan tidak, dia mendengar suara alunan musik petik yang
begitu indah dari dasar sungai. Semakin lama dia mendengar suara tersebut,
semakin dekat pula rasanya jarak sumber suara musik yang membuatnya penasaran.
Sepertinya
dia mendapat ilham dari leluhur nenek moyangnya. Sekembali ke rumah, dia
mencoba membuat alat musik tersebut dan memainkannya sesuai dengan lirik lagu
apa yang didengarnya ketika di karangan. Mulai saat itulah Sape’ Kenyah mulai
dimainkan dan menjadi musik tradisi pada suku Dayak Kenyah, hingga ke group
Kayaan lainnya. Kini Sape” Kenyah itu bukanlah alat musik yang asing lagi.
Ketika
acara pesta rakyat atau gawai padai (ritual syukuran atas hasil panen padi)
pada suku ini, sape kerap dimainkan. Para pengunjung disuguhkan dengan tarian
yang lemah gemulai. Aksessoris bulu-bulu burung enggang dan ruai di kepala dan
tangan serta manik-manik indah besar dan kecil pada pakaian adat dan kalung di
leher yang diiringi dengan musik sape’.
Musik
ini dimainkan oleh minimal satu orang. Bisa juga dua atau tiga orang, sehingga
suaranya lebih indah. Jenis lagu musik sape’ ini bermacam-macam, biasanya
sesuai dengan jenis tariannya. Misalnya musik Datun Julut, maka tariannya juga
Datun Julut dan sebagainya.
Ada
beberapa jenis lagu musik sape’, di antaranya: Apo Lagaan, Isaak Pako’ Uma’
Jalaan, Uma’ Timai, Tubun Situn, Tinggaang Lawat dan Tinggaang Mate. Nama-nama
lagu tersebut semua dalam bahasa Kayaan dan Kenyah.
Cara
pembuatan sape’ sesungguhnya cukup rumit. Kayu yang digunakan juga harus
dipilih. Selain kayu Pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya, juga
bisa kayu keras seperti nangka, belian dan kayu keras lainnya.
Semakin
keras dan banyak urat daging kayunya, maka suara yang dihasilkannya lebih bagus
ketimbang kayu lempung. Bagian permukaannya diratakan, sementara bagian
belakang di lobang secara memanjang, namun tidak tembus kepermukaan.
Untuk
mencari suara yang bagus maka tingkat tebal tipisnya tepi dan permukannya harus
sama, agar suara bisa bergetar merata, sehingga mengehasilkan suara yang cekup
lama dan nyaring ketika dipetik.
Menurut
V. Aem Jo Lirung Anya, seorang pemusik sape asal Dayak Kayaan Sungai Mendalam,
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tidak jarang pembuat sape’ selalu
salah untuk menentukan mutu dari suaranya.
Sedangkan
cara memainkannya, jelas berbeda dengan cara memainkan melodi gitar, karena
jari-jari tangan hanya pada satu senar yang sama bergeser ke atas dan bawah.
Para pemusik ketika memeinkan sebuah lagu, hanya dengan perasaan atau viling
saja.
Untuk
sementara ini belum ada panduan khusus yang menulis tentang notasi lagu
musiknya. Rekaman Musik sape’ ini bisa di dapat seperti Sarawak, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur, dalam bentuk kaset tape recorder maupun Compact
Disk.
Saat
ini sape’ tidak saja bisa dimainkan sendiri bersaman dengan musik tradisi
lainnya, tapi juga dapat dikolaborasikan dengan musik modern seperti organ,
gitar bahkan drum sebagai pengganti beduk. Saat ini sape’ dapat dibeli di toko
kerajinan, hanya saja kebanyakan dari sape’ tersebut sudah tidak lagi asli dan
bermutu, bahkan tidak lebih dari fungsi pajangan belaka.
0 komentar:
Posting Komentar